Pernahkah Anda mendapatkan perilaku stonewalling dari orang lain atau bahkan orang terkasih? Mungkin Anda pernah sedang berdiskusi dengan seseorang, Anda mengekspresikan apa yang ada di dalam pikiran Anda, namun kemudian orang lain tiba-tiba menghentikan pembicaraan dan diam, membuat Anda merasa sendiri, marah, dan tidak nyaman. Situasi ini dikenal dengan istilah stonewalling.
Stonewalling terjadi ketika Anda mencoba menghindari kemarahan dengan cara mengacuhkan konflik. Seseorang yang mengundurkan diri biasanya merasa kewalahan dan mulai menutup diri sebagai suatu cara untuk menenangkan diri. Meskipun suatu hal yang normal untuk sesekali menggunakan cara “silent treatment” sebagai sebuah mekanisme koping, hal ini perlu menjadi kekhawatiran tersendiri ketika perilaku tersebut berubah menjadi kronis.
Seseorang yang menggunakan stonewalling mungkin tidak dapat mengekspresikan apa yang mereka rasakan dan merasa lebih mudah untuk menghindari masalah. Contoh stonewalling yang dilakukan di antaranya adalah menutup mata ketika argument dan perdebatan terjadi, membuang muka, dan memeriksa handphone mereka dengan sering ketika berada di tengah-tengah diskusi yang memanas. Mereka juga akan mengubah subyek atau menggunakan jawaban-jawaban seadanya guna menghindari pembicaraan.
Banyak orang percaya bahwa stonewalling lebih sering dilakukan oleh pria. Meskipun penelitian terdahulu mengindikasikan bahwa laki-laki lebih sering menutup diri secara emosional ketika berada dalam percakapan yang sulit dibandingkan dengan wanita, merupakan sebuah mitos apabila stonewalling hanya eksklusif dilakukan oleh pria. Siapa saja dapat melakukan stonewalling. Ini adalah taktik defensive yang dipelajari dalam masa kanak-kanak.
Mungkin terlihat bukan suatu masalah yang serius, tapi menolak berbicara dapat menjadi sebuah masalah serius dalam beberapa cara. Misalnya, stonewalling akan menciptakan sebuah perasaan terisolasi, dan tidak hanya terjadi pada orang yang mendapatkan sikap ini saja, tetapi juga pada yang melakukannya. Ini dikarenakan stonewalling akan mengisolasi kedua belah pihak, menjauhkan keduanya satu sama lain dan tidak mendekatkan diri untuk mencapai solusi dan resolusi yang perlu didapatkan saat perdebatan terjadi.
Meskipun Anda bisa merasa lega dengan melakukan stonewalling, jika perilaku ini dilakukan dengan terus menerus setiap kali ada perselisihan yang perlu diselesaikan dengan kedewasaan masing-masing, ini adalah perilaku perusak yang dapat menghancurkan hubungan personal dan sosial. Menurut para peneliti yang ada di Gottman Institute, ketika seorang wanita melakukan stonewalling, sering perilaku ini dapat menjadi sebuah pemrediksi bahwa perceraian akan terjadi di masa depan. Selain itu, apabila Anda adalah seseorang yang sering melakukan stonewalling, Anda akan mengalami beberapa reaksi fisik, seperti detak jantung yang naik dan juga napas yang semakin cepat. Dalam sebuah studi tahun 2016 ditemukan bahwa menutup diri secara emosional pada saat konflik terjadi dihubungkan dengan sakit punggung dan otot yang tegang.
Apakah ini merupakan salah satu bentuk kekerasan? Ketika mencoba menentukan apakah perilaku ini berubah menjadi suatu kekerasan, sangat penting untuk melihat niat yang ada di balik stonewalling. Seseorang yang melakukan stonewalling sering merasa tidak mampu mengeskpresikan emosi yang mereka miliki dan akan mendiamkan orang lain sebagai sebuah cara untuk melindungi diri mereka sendiri. Di sisi lain, stonewalling juga dapat digunakan sebagai alat untuk menciptakan ketidakseimbangan power dengan cara membiarkan orang lain untuk memutuskan kapan dan bagaimana Anda harus berkomunikasi. Cobalah untuk selalu memerhatikan apakah perilaku stonewalling berubah menjadi perilaku manipulative berpla yang dapat mengurangi rasa percaya diri dan membuat seseorang merasa takut dan putus asa. Jika silent treatment dan stonewalling bertujuan untuk menyakiti seseorang, dapat menjadi sebuah tanda yang perlu diwaspadai bahwa seseorang sedang berusaha untuk mendominasi hubungan.
No comments: